"Bagaimana ya nanti kalau dia sakit, siapa yang ngurusin?
Pasti disindir mulu deh masalah gak nikah-nikah.
Kalau pergi kondangan, dia pergi sendirian gitu?
Abis pulang kerja, dia ngapain ya? Apa gak kesepian?
Pasti sering disangkain gak normal deh.
Kenapa ya mereka bisa gak nikah begitu? Apa ada trauma?
Enggg... Amit-amit deh jangan sampai gue kayak gitu."
Ya begitulah kira-kira sekelumit isi pikiran saya. Saya yakin, keputusan seseorang untuk tidak menikah pasti didasari dengan sesuatu yang sangat kompleks. "Melawan" norma adat dan budaya untuk tidak menikah pasti bukan keputusan yang mudah.
Saya yakin, dibalik senyum yang mereka tampilkan tiap hari, dibalik semua alasan yang mereka utarakan untuk tidak menikah, pasti tersimpan sedikit rasa sakit. Siapa manusia yang ingin sendiri? Hanya saja, sepertinya semakin mereka menua, semakin mereka menutup diri. Saya bisa mengerti perasaan "tertinggal" yang mungkin mereka rasakan. Ditinggal teman-teman sebaya yang sudah menikah, sindiran-sindirian bujang lapuk/perawan tua mungkin sudah tidak asing (meski masih sakit) bagi mereka. Dan untuk mengatasi semua itu, mereka harus memperkeras dinding luar hati mereka sekuat mungkin agar terlalu sakit. Dinding yang dari waktu ke waktu semakin menjadi kuat untuk menangani rasa sakit, rasa sepi atau sekedar iri.
Dan dinding hati itu menjadi terlalu kuat untuk ditembus ketika ada seseorang yang mungkin ingin masuk kedalamnya. Terlalu kuat, bahkan si empunya hati tidak mampu lagi membukanya untuk siapapun. Ironis.
Saya yakin, setiap orang mempunyai jodohnya masing-masing. Lalu, jika ada seseorang yang memilih tidak menikah, bagaimanakah dengan nasib jodohnya ya?
No comments:
Post a Comment